Pengelolaan Sampah yang ramah lingkungan di sekolah

Oleh: Nasih Widya Yuwono

Makalah disampaikan pada ” Pelatihan Pengembangan Sekolah Hijau untuk guru-guru SMK RSBI  se-DIY”, LPPM UGM bekerja sama dengan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi DIY, Yogyakarta: 25-28 Oktober 2010.
Unduh file: pdf

Pengertian Sampah

Sampah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan [manusia] yang berwujud padat [baik berupa zat organik maupun anorganik yang bersifat dapat terurai maupun tidak terurai] dan dianggap sudah tidak berguna lagi [sehingga dibuang ke lingkungan]. Alam tidak mengenal sampah, yang ada hanyalah daur materi dan energi. Hanya manusia yang menyampah [mengakibatkan munculnya sampah].

Segala macam organisme yang ada di alam ini selalu menghasilkan bahan buangan, karena tidak ada proses konversi yang memiliki efisiensi 100%. Sebagian besar bahan buangan yang dihasilkan oleh organisme yang ada di alam ini bersifat organik [memiliki ikatan CHO, bagian tubuh makhluk hidup]. Sampah yang berasal dari aktivitas manusia yang dapat bersifat organik maupun anorganik. Contoh sampah organik adalah: sisa-sisa bahan makanan, kertas, kayu dan bambu. Sedangkan sampah anorganik [hasil dari proses pabrik] misalnya: plastik, logam, gelas, dan karet.

Ditinjau dari kepentingan kelestarian lingkungan, sampah yang bersifat organik tidak begitu bermasalah karena dengan mudah dapat dirombak oleh mikrobia menjadi bahan yang mudah menyatu kembali dengan alam. Sebaliknya sampah anorganik sukar terombak dan menjadi bahan pencemar.

Pencemaran lingkungan umumnya berasal dari sampah yang melonggok  pada suatu tempat penampungan atau pembuangan. Perombakan sampah organik dalam suasana anaerob [miskin oksigen] akan menimbulkan bau tak sedap. Makin tinggi kandungan protein dalam sampah, makin tak sedap bau yang ditimbulkan. Dampak lain karena timbunan sampah dalam jumlah besar adalah lingkungan yang kotor dan pemandangan yang kumuh.

Timbunan sampah menjadi sarang bagi vektor dan penyakit. Tikus, lalat, nyamuk akan berkembang biak dengan pesat. Ruang yang ada dicelah-celah sampah dapat berupa ban, kaleng bekas, kardus, dan lain-lain merupakan hunian yang ideal bagi tikus. Lalat pada umumnya berkembangbiak pada sampah organik, terutama pada sampah yang banyak mengandung protein, seperti sisa makanan.  Suasana yang lembab dan hangat sangat cocok untuk habitat nyamuk. Sampah organik menyediakan sumber makanan yang melimpah bagi mereka.

Karakteristik sampah di Sekolah

            Sekolah sebagai tempat berkumpulnya banyak orang dapat menjadi penghasil sampah terbesar selain pasar, rumah tangga, industri dan perkantoran. Secara umum sampah dapat dipisahkan menjadi :

  1. Sampah organik/mudah busuk  berasal dari: sisa makanan, sisa sayuran dan kulit buah-buahan, sisa ikan dan daging, sampah kebun (rumput, daun dan ranting).
  2. Sampah anorganik/tidak mudah busuk berupa : kertas, kayu, kain, kaca, logam, plastik , karet dan tanah.

            Sampah yang dihasilkan sekolah kebanyakan adalah jenis sampah kering dan hanya sedikit sampah basah. Sampah kering yang dihasilkan kebanyakan berupa kertas, plastik dan sedikit logam. Sedangkan sampah basah berasal dari guguran daun pohon, sisa makanan dan daun pisang pembungkus makanan.

Pengelolaan sampah

  1. Pemilahan yaitu memisahkan menjadi kelompok sampah organik dan non organik dan ditempatkan dalam wadah yang berbeda.
  2. Pengolahan dengan menerapkan konsep 3R yaitu:
    • Reuse (penggunaan kembali) yaitu menggunakan sampah-sampah tertentu yang masih memungkinkan untuk dipakai [penggunaan kembali botol-botol bekas].
    • Reduce (pengurangan) yaitu berusaha mengurangi segala sesuatu yang dapat menimbulkan sampah serta mengurangi sampah-sampah yang sudah ada.
    • Recycle (daur ulang) yaitu menggunakan sampah-sampah tertentu untuk diolah menjadi barang yang lebih berguna [daur ulang sampah organik menjadi kompos].
  3. Untuk sampah yang tidak dapat ditangani dalam lingkup sekolah, dikumpulkan ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang telah disediakan untuk selanjutnya diangkut oleh petugas kebersihan ke Tempat Pembuangan Akhir(TPA).

Sampah yang dibuang ke TPS ditempatkan berdasarkan pemilahan sampah yang telah dilakukan. Hal ini dilakukan karena sampah organik cepat membusuk sementara sampah non organik membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membusuk sehingga memerlukan perlakuan khusus. Untuk TPS yang sengaja disediakan oleh pihak sekolah sebaiknya TPS tersebut berupa lubang yang dilengkapi dengan sistem penutup sehingga tikus, serangga, dan hewan-hewan tertentu tidak masuk ke dalamnya dan juga untuk menghindari bau dari sampah yang bisa mengganggu.

Untuk memudahkan jangkauan biasanya juga disediakan bak-bak sampah kecil yang ditempatkan di tempat-tempat yang mudah dijangkau sebagai tempat penampungan sampah sementara sebelum dibuang ke TPS. Penampungan sampah dalam bak sampah ini juga sebaiknya dipisahkan menjadi tempat sampah organik dan anorganik dan kalau sudah penuh harus segera dibuang ke TPS atau langsung diambil oleh petugas kebersihan untuk dibuang ke TPA.

Perancangan Pengelolaan Sampah di Sekolah

Di lingkungan sekolah, pengelolaan sampah membutuhkan yang perhatian serius. Dengan komposisi sebagian besar penghuninya adalah anak-anak [warga belajar] tidak menutup kemungkinan pengelolaannya pun belum optimal. Namun juga bisa dipakai sebagai media pembelajaran bagi siswa-siswinya. Salah satu parameter sekolah yang baik adalah berwawasan lingkungan.

Sampah basah bisa diolah menjadi kompos. Prosesnya mudah dan sederhana. Anak usia sekolah SD hingga SLTA bisa mengerjakan sendiri. Pembuatan kompos dengan sampah basah di sekolah bisa menjadi media pembelajaran untuk anak didik. Setidaknya anak akan belajar tentang Ilmu Pengetahuan Alam. Anak juga akan belajar menghargai lingkungan. Mereka akan belajar bagaimana sampah itu bisa bermanfaat bagi manusia bukan hanya sebagai sesuatu yang kotor dan menjijikkan. Kompos yang dihasilkan dapat digunakan untuk memupuk tanaman yang ada atau sebagi bahan campuran media tanam dalam pot.

Kertas bekas yang dihasilkan banyak sekali yang berjenis HVS. Jenis kertas ini di kalangan pemulung memiliki harga yang paling tinggi. Belum lagi kertas karton, kertas pembungkus makanan dan kertas jenis lainnya. Khusus untuk sampah kertas, bisa dilakukan dua hal untuk pengelolaannya.

  1. Yang pertama adalah daur ulang sebagai pengelolaan sendiri. Sampah kertas bisa didaur ulang dengan cukup mudah. Kertas bekas dipotong kecil-kecil dan direndam ke dalam air. Proses berikutnya adalah diblender hingga berubah menjadi bubur kertas. Dari sinilah kreativitas anak diperlukan. Bubur kertas bisa dijadikan bahan kertas daur ulang atau bisa dijadikan bahan dasar kreativitas lain, misalnya topeng kertas atau bentuk pigora.
  2. Bentuk pengelolaan kedua adalah sistem pemilahan untuk dijual. Kertas berjenis HVS dipisah dari jenis lain misalnya koran, karton dan kerdus. Kertas bekas yang sudah dipilah tadi dijual ke pemulung. Pemulung secara berkala akan datang ke sekolah untuk mengambil kertas tersebut.

Jenis sampah lain yang juga lumayan banyak di sekolah adalah plastik. Sampah ini sebagian besar terdiri dari bungkus plastik dan botol minuman mineral. Untuk jenis terakhir inilah yang sekarang banyak dicari orang. Botol minuman bekas yang berbahan plastik PET bisa didaur ulang menjadi biji plastik. Demikian juga halnya dengan kaleng minuman bekas yang berbahan logam. Sampah jenis ini juga sebaiknya dipilah, dikumpulkan untuk kemudian dijual. Anak-anak juga dapat berkreasi merangkainya menjadi barang kerajinan atau hiasan dinding.

Dengan sistem pemilahan ini diharapkan anak didik dapat belajar betapa sampah yang semula kotor dan menjijikkan ternyata memiliki nilai jual. Mata pelajaran ekonomi dapat dipelajari dari seonggok sampah di sekolah. Anak didik akan menyadari bahwa peluang kerja ada di sekitarnya, bukan hanya dicari tapi dapat juga diciptakan.

Dalam perancangan pengelolaan sampah di sekolah, para siswa perlu dilibatkan secara aktif. Hal ini dapat dilakukan dengan pembentukan regu-regu yang bertugas secara terjadwal. Kegiatan pameran dan kompetisi berkala dapat dilakukan untuk meningkatkan kepedulian terhadap pengelolaan sampah.  Menulis di blog atau majalah dinding merupakan latihan yang bagus untuk menumbuhkan jiwa-jiwa mengelola sampah. Sehingga muncul kesadaran baru bahwa,  “Sampah bukan masalah, tetapi peluang”.

#

Pengalaman PT dalam Pengelolaan Lahan

Oleh: Nasih Widya Yuwono

Makalah disampaikan pada ”Pertemuan Koordinasi dan Sinkronisasi Pengelolaan Lahan dan Air Provinsi DIY Tahun 2010” Dinas Pertanian DIY, Yogyakarta: 27-28 April 2010.
Unduh file: pdf

Pendahuluan

Peranan Perguruan Tinggi dalam pengelolaan tanah terlihat dari kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Secara rinci hal tersebut dapat dirunut pada kurikulum, laporan penelitian dan publikasi yang telah diterbitkan. Terdapat dua ranah dalam hal pengelolaan tanah, yaitu konseptualisasi dan realisasi. Konsepsi mengenai pengelolaan tanah dapat dipelajari secara mendalam pada buku, jurnal atau publikasi yang lain. Sedangkan realisasi pengelolaan tanah dapat dilihat pada program kerja intansi terkait dan kenyataan di masyarakat.

Makalah ini menitik-beratkan pengelolaan lahan untuk pertanian di Provinsi DIY dari pendekatan konseptual yang didapatkan dari pengalaman membaca.

Pengertian Lahan

Lahan adalah suatu wilayah daratan dengan ciri mencakup semua watak yang melekat pada atmosfer, tanah, geologi, timbulan, hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan, serta kegiatan manusia di atasnya (Notohadiprawiro, 1996a). Mutu lahan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan usaha pertanian, karena hampir semua kegiatan pertanian dilaksanakan di atas lahan.

Tanah merupakan komponen lahan yang utama. Tanah memiliki sifat dan memenuhi syarat untuk disebut sumberdaya. Tanah dapat menghasilkan bahan nabati, untuk kemudian menghasilkan bahan hewani. Tanah mempunyai daya tumpu, sehingga di atasnya dapat didirikan bangunan. Tanah merupakan bahan mentah untuk membuat beraneka barang. Tanah mampu menyerap cairan, menguraikan bahan organik, mematikan pathogen, berdaya sangga terhadap zat kimia, dengan demikian berfungsi untuk sanitasi lingkungan. Dengan kemampuan infiltrasi dan perkolasinya tanah dapat menyalurkan sebagian air hujan untuk mengisi cadangan air tanah. Taman, jalur hijau, pohon peneduh atau pematah angin, dan hutan wisata dibangun di atas tanah. Tanah diperlukan untuk tujuan estetika dan rekreasi (Notohadiprawiro, 1987).

Lahan di provinsi DIY tersebar dalam 8 unit fisiografi yaitu:

  1. Kompleks pegunungan patahan Menoreh dan Kulon Prago. Bagian barat dan barat-laut berupa batuan sedimen berumur miosen. Merupakan andesit tua yang dikenal dengan Formasi Bemmelen. Di bagian utara dan selatan bagian barat Formasi Bemmelen terdapat intrusi batuan andesit yang berumur lebih muda yang di kenal dengan Gunung Ijo. Pada areal yang sempit sebelah barat Gunung Ijo terdapat intrusi batuan dasit. Ketinggian lokasi ini antara 150 m sampai 960 m.
  2. Area Merapi Kuarter merupakan kerucut vulkanik G. Merapi yang masih aktif. Batuan utamanya andesit. Area ini mencakup dari puncak Merapi hingga Yogyakarta. Puncak yang tertinggi mencapai 3.000 m.
  3. Dataran Alluvial Bantul merupakan material vulkanik muda dari G. Merapi yang terletak antara Kota Yogyakarta sampai pantai selatan (Samudera Indonesia). Di pantai terbentuk gumuk-gumuk pasir tipe Barchan yang khas. Ketinggian lokasi ini dari 0 hingga 300 m.
  4. Perbukitan Sentolo, terdiri atas napal berumur pliosen. Unit ini terletak di bagian selatan Merapi dan di antara Dataran Aluvial Bantul dan Kompleks Pegunungan Menoreh dan Kulon Progo. Perbukitan ini berhubungan dengan Pegunungan Seribu, namun tertimbun oleh material G. Merapi yang menjadi dataran Aluvial Bantul. Lokasi ini memiliki elevasi 100 m.
  5. Dataran Laut Selatan. Depositnya terdiri atas bahan-bahan tanah pasiran, geluh dan lempungan dan gumuk pasir. Bagian ini terdapat di selatan Perbukitan Sentolo dan berbatasan dengan Dataran Aluvial Bantul.       
  6. Mintakat Baturagung yang berumur oligosen atas dan batuan vulkanik yang tersedimentasi berumur miosen. Komposisinya terdiri atas batuan pasir dasitik dan andesitik, konglomerat, tuf dan erupsi vulkanik. Ketinggian area ini 100 – 500 m.
  7. Ledok Wonosari, terdiri atas napal dan batuan kapur berumur pliosen. Terletak dikelilingi Mintakat Baturagung dan Karts Gunung Sewu. Ketinggiannya kurang dari 100 m.
  8. Karst Gunung Sewu yang merupakan batuan kapur berumur pliosen. Membentang ke selatan hingga Samudera Indonesia. Ketinggiannya antara 100 hingga 300 m, tetapi ada beberapa puncak bukit yang ketinggiannya > 400 m.

Bahan induk, topografi dan iklim sangat mempengaruhi sifat dan mutu tanah yang terbentuk serta cara pengelolaannya.

Pengelolaan Lahan

Pengelolaan lahan, meliputi kegiatan inventarisasi, perencanaan, pengaturan, perlakuan dan pengawasan terhadap komponen lahan dan penggunaannya dengan tujuan memelihara eksistensi dan fungsi secara berkelanjutan. Tataguna lahan mengatur peruntukan lahan sesuai dengan kemampuannya, sehingga  menghindarkan penggunaan melewati batas kemampuan (Notohadiprawiro, 1987).

Kegiatan survai dan pemetaan tanah diperlukan untuk mengetahui sifat tanah dan sebarannya, database ini sangat berguna dalam perencanaan penggunaan lahan. Kegiatan evaluasi kesesuaian lahan berguna untuk mengetahui potensi lahan dan alternatif masukan perbaikan, jika lahan akan diusahakan untuk suatu komoditas tertentu. Evaluasi kesuburan tanah dilakukan pada lahan yang sudah diusahakan, untuk mengetahui faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Percobaan pemupukan dan pemberian bahan pembenah tanah dilakukan untuk mendapatkan lingkungan tanah baru yang optimum untuk budidaya tanaman.

Membuat teras pada lahan berlereng bermakna meningkatkan nasabah kompensatif antara hujan yang memasok air (infiltrasi dan perkolasi) dan tanah yang mentransformasikan air itu menjadi lengas tanah untuk keperluan tanaman, dan sekaligus membatasi nasabah antikompensatif antara hujan yang berdaya mengerosi (air limpasan) dan tanah yang rentan erosi. Menanam tanaman penutup tanah membuat nasabah kompensatif buatan antara vegetasi dan tanah yang menyuburkan tanah dan sekaligus melindungi tanah terhadap erosi atau pelindian. Dalam hal penyediaan lengas tanah, nasabah antikompensatif antara tanah pasiran dan iklim kering dapat dikurangi atau dihilangkan dengan memberikan kepada tanah pupuk organik atau mulsa untuk meningkatkan kemampuan tanah menyimpan air (Notohadiprawiro, 1996b).

Problem Tanah dan pengelolaannya

1. Lahan Pasir

Lahan pasir pantai termasuk lahan marjinal yang dicirikan: tekstur pasiran, struktur lepas-lepas, kandungan hara rendah, kemampuan menukar kation rendah, daya menyimpan air rendah, suhu tanah di siang hari sangat tinggi, kecepatan angin dan laju evaporasi sangat tinggi. Upaya perbaikan sifat-sifat tanah dan lingkungan mikro sangat diperlukan, antara lain misalnya dengan penyiraman yang teratur, penggunaan mulsa penutup tanah, penggunaan pemecah angin (wind breaker), penggunaan bahan pembenah tanah (marling), penggunaan lapisan kedap, dan pemberian pupuk (baik organik maupun anorganik). Hasil penelitian Partoyo (2005) menunjukkan bahwa berdasarkan nilai indeks kualitas tanah, perlakuan penambahan tanah lempung dan pupuk kandang dapat memperbaiki kualitas tanah.

Tanah pasir abu volkan , yang dirajai fraksi pasir dengan tingkat ke arah makin kasar tersebar dari kaki sampai kerucut gunung Merapi. Kemampuan mengikat dan melepaskan hara dan lengas tersedia menjadi kendala pada tanah ini. Aplikasi bahan organik secara terus menerus dapat memperbaiki tanah ini sehingga memiliki struktur yang lebih baik untuk budidaya pertanian. 

2. Lahan Kapuran

Tanah ini mengandung cukup banyak CaCO3 yang berasal dari pelarutan bahan induknya. Masalah yang timbul kahat P (terikat oleh Ca), kahat Zn dan Fe (mengendap). Umumnya tanah ini dijumpai pada lahan dengan curah hujan yang rendah (FAO, 2010). Kekeringan menyebabkan lahan ini tidak dapat diusahakan sepanjang tahun, akibat kurangnya masukan biomasa ke dalam tanah maka kandungan bahan organik rendah, kandungan N total tanah rendah. Upaya perbaikan dapat dilakukan dengan pemberian bahan organik secara teratur, pola tanam tumpang sari dengan legum, tanaman sela seperti turi dan lamtoro yang tahan kekeringan untuk pakan ternak. Konservasi lengas dapat dilakukan misalnya dengan memanfaatkan air limbah kolam ikan lele yang dibuat di atas tanah.

3. Lahan Lempung berat

Tanah ini sifatnya keras di musim kering sebaliknya menjadi lengket dan lekat pada musim hujan, akibatnya susah diolah. Terjadinya retakan yang lebar dan dalam di musim kering dapat memutuskan perakaran tanaman, namun di musim hujan tanah ini tergenang karena drainase yang buruk, mengakibatkan respirasi akar terhambat. Upaya yang dapat dilakukan, penambahan bahan organik, pencampuran pasir halus dan penyediaan air sepanjang tahun. Jika cukup tersedia air irigasi dan telah dikelola dalam jangka waktu yang lama, tanah-tanah seperti ini merupakan tanah yang produktif.

4. Lahan Dangkal

Banyak lahan telah mengalami erosi berat di masa lampau, sehingga menyisakan bahan induk atau solum yang tipis. Usaha yang perlu dilakukan adalah menambah atau mempercepat terbentuknya solum tanah. Pemasukan biomassa ke dalam tanah dan meningkatkan aktivitas biota tanah perlu dilakukan secara maksimal. Usaha tersebut dapat berupa model penanaman dalam pot tanah, tanaman penutup tanah, usaha pertanian ternak terpadu dan penyediaan air terus-menerus.

5. Lahan Berlereng

Lahan berlereng terletak di wilayah pegunungan atau perbukitan, memiliki kemiringan > 30%. Wilayah ini rentan terhadap kehilangan masa tanah karena erosi atau longsor. Upaya yang perlu dilakukan, re-evaluasi penggunaan lahan menurut kelas kemampuannya, terasering, tanaman penutup tanah, dijadikan kawasan resapan air, usaha peternakan dan kolam ikan di atas tanah.

6. Penambangan tanah

Penambangan tanah untuk bahan mentah dalam pembuatan gerabah, genting dan bata berdampak atas rusaknya lahan sawah. Pada pasca penambangan tanah, yang tertinggal untuk bercocok tanam berupa tanah bagian bawah sedalam sekitar 1 meter, yang pada umumnya kurang subur dibandingkan dengan tanah bagian atas. Jadi, pertanian memperoleh kembali lahannya dengan bentuk permukaan bercekung-cekung tidak keruan dan tanah yang tidak subur. Untuk ini diperlukan reklamasi yang mencakup pendataran muka lahan dan penyuburan tanah (Notohadiprawiro, 1997). 

Sebagai alternatif, hasil pengolahan limbah organik ternak dapat digunakan untuk menyulih tanah sawah yang digunakan sebagai bahan untuk industri gerabah, genting dan bata (http://www.gsvc.org/finalists_winners).  Bahan lain yang dapat dipakai misalnya abu vulkan dari gunung Merapi yang jumlahnya sangat melimpah atau sekam padi yang keberadaannya dapat diperbaharui.

7. Tanah Sawah

Tanah sawah merupakan lahan basah buatan yang paling luas di bumi ini. Tanah sawah dapat berasal dari jenis tanah apa saja, namun peran manusia jauh berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah yang terbentuk (Kogel-Knabner dkk., 2010). Teknologi sawah merupakan kearifan lokal petani yang diperoleh dari pengalaman ratusan sampai ribuan tahun. Yang sangat menonjol dari persawahan adalah konservasi karbon (C), air dan biodiversitas. Tanah sawah yang sudah tua, memiliki kelenturan yang tinggi untuk mempertahankan kesuburannya.

Konversi tanah sawah untuk kepentingan non pertanian sangat mencemaskan oleh karena itu perlu dibatasi. Pembentukan kawasan lahan sawah abadi perlu digalakkan, termasuk peningkatan prasarana dan sarana yang diperlukan. Peningkatan mutu tanah sawah dilakukan dengan penerapan konsep dan perluasan kawasan pertanian organik.  Sumber-sumber air alami untuk irigasi pertanian organik perlu diperbanyak dengan memanfaatkan kawasan sekitar hutan.

Pemanfaatan biomasa untuk memperbaiki kesuburan tanah dilakukan di tingkat petani dengan jalan memperbanyak populasi ternak dan pusat pengolahan pupuk organik. Aplikasi arang dapat memperbaiki kesuburan tanah (Lehmann & Joseph, 2009), pada tanah lahan sawah dapat meningkatkan retensi lengas dan hara, serta aktivitas mikrobia dalam tanah.  

Daftar Pustaka

  • Congratulations to the 2009 Winner: EcoFaeBrick! http://www.gsvc.org/finalists_winners. diakses tanggal 27 April 2010.
  • FAO. 2010. Problem Soil Database. http://www.fao.org/ag/agl/agll/prosoil/index.htm. diakses tanggal 27 April 2010.
  • Kögel-Knabner, I., W. Amelung, Z. Cao, S. Fiedler, P. Frenzel, R. Jahn, K. Kalbitz, A. Kölbl, & M. Schloter. 2010. Biogeochemistry of paddy soils. doi:10.1016/j.geoderma.2010.03.009
  • Lehmann, J. and S. Joseph. 2009. Biochar For Environmental Management : Science And Technology.  Earthscan. 416 p.
  • Notohadiprawiro, T. 1987. Pengelolaan sumberdaya tanah untuk pengembangan sektor industri. Seminar Sumberdaya Alam. PAU Studi Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta 5-8 Februari 1987.
  • Notohadiprawiro, T. 1996a. Lahan kritis dan bincangan pelestarian lingkungan hidup. seminar nasional penanganan lahan kritis di Indonesia, Bogor: 7-8 November 1996.
  • Notohadiprawiro, T. 1996b. Pendayagunaan pengelolaan tanah untuk proteksi lingkungan. Seminar Sehari Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan tentang Inovasi Teknologi Lingkungan Menyongsong Era Globalisasi. Yogyakarta, 18 September 1996.
  • Notohadiprawiro, T. 1997. Pengelolaan lahan dan lingkungan pasca penambangan
  • Partoyo. 2005. Analisis indeks kualitas tanah pertanian di lahan pasir pantai Samas Yogyakarta. Ilmu Pertanian Vol. 12 No.2, 2005 : 140 – 151

***

Tabel 1. Beberapa Indikator Kesesuaian Lahan Untuk Pertanian

Sifat \ Harkat

Sangat sesuai

Sesuai

Kurang sesuai

Tidak sesuai

Sifat Intrinsik

Jeluk mempan perakaran (cm)

>120

120-70

70-30

<30

Tekstur

seimbang

agak berat

berat

ringan

Bahan kasar  (%)

<10

10-30

30-60

>60

Struktur

halus, sedang  3, 2

kasar,

1

Butir tunggal, 0

pejal,

0

Lapisan padat (cm)

Nihil

Sedang  >60

Sedang  >20 atau kuat  >60

Kuat  < 30

Lengas tersedia (mm)

>100

100-60

60-20

<20

Permeabilitas (cm/jam)

>2

2-0,5

0,5-0,1

<0,1

Bahan organik (%)

>5

5-2

2-1

<1

Kapasitas Pertukaran Kation (cmol(+)kg-1)

>40

40-20

20-10

<10

Kejenuhan basa (%)

>75

75-50

50-25

<25

pH

7,3-6,7

6,7-5,5
7,3-8,0

5,5-4,5
8,0-9,0

<4,5
 >9,0

Karbonat ( %)

<7

7-15

15-25

>25

Kegaraman  (dSm-1)

<2

2-6

6-12

>12

Sifat Ekstrinsik

Lereng (%)

<4

4-10

10-25

>25

Kebatuan di permukaan (%)

<2

2-20

2-20

>50

Banjir (bulan)

0

<1

1-3

>3

Erosi (T/ha/th)

<10

10-20

20-60

>60

Pengolahan

mudah

terbatas

sulit

Sulit sekali

Curah hujan (mm/th)

>1000

1000-600

600-300

<300

 Keterangan:

Tekstur: seimbang = geluh (loam), geluh debuan (silt loam), geluh lempung pasiran (sandy clay loam); agak berat = lempung pasiran (sandy clay), gelum lempungan (clay loam), gelum lempung debuan (silty clay loam), debu (silt); berat = lempung (clay), lempung debuan (silty clay); ringan = pasir (sand), pasir geluhan (loamy sand)

Mendongkrak produktivitas pangan

Perusahaan badan usaha milik negara yang bergerak di bidang pangan berkomitmen ikut membantu Kementerian Pertanian dalam meningkatkan produksi pertanian untuk mencapai ketahanan pangan nasional. Untuk itu Kementerian BUMN bakal mengucurkan Rp 4,1 triliun hingga 2014.

Menteri BUMN Mustafa Abubakar mengatakan, kucuran dana tersebut akan digunakan untuk pembiayaan program dukungan penyediaan pangan nasional mencakup beras, jagung, kedelai, gula, dan daging secara berkelanjutan. Program ini bernama Gerakan Peningkatan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K).

Mustafa menjelaskan, dana yang disediakan berasal dari Corporate Social Responsibility (CSR), program kemitraan dan bina lingkungan BUMN, serta Kredit Usaha Rakyat (KUR). “Untuk musim tanam tahun ini Kementerian BUMN akan menyediakan Rp 1,3-1,5 triliun,” ujarnya di Jakarta, Senin 9 Mei 2011.

Program dukungan itu untuk membantu percepatan pencapaian target swasembada bagi lima komoditas, yakni beras, jagung, kedelai, gula, dan daging. Untuk peningkatan produksi beras, BUMN ikut andil dalam produksi 3,725 juta ton dari target pemerintah 70,6 juta gabah kering giling tahun ini.

Peningkatan produktivitas lahan tanaman pangan menjadi fokus utama untuk peningkatan produksinya. Seperti padi, produktivitasnya ditingkatkan dari saat ini 4,5-5,6 ton per hektare menjadi 5,5-7,5 ton per hektare. Begitu juga jagung ditargetkan naik dari 4 ton per hektare menjadi 6 ton per hektare.

Terkait lahan, Kementerian BUMN akan memanfaatkan 500 ribu hektare sawah petani untuk lahan padi sawah dan 75 ribu hektare untuk lahan kering padi gogo. Sedangkan jagung dan kedelai akan menggunakan lahan masing-masing seluas 250 ribu hektare dan 50 ribu hektare.

Untuk produksi jagung, BUMN berperan membantu produksi 1,5 juta ton dari target produksi nasional 22 juta ton, kedelai memproduksi 60 ribu ton dari target 1,56 juta ton, dan gula 1,71 juta ton dari target 3,13 juta ton pada tahun ini. Untuk indukan sapi, kontribusi perusahaan BUMN mencapai 3 ribu ekor dari target 1 juta ekor.

Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan, jika rencana program dukungan dari perusahaan-perusahaan pelat merah tersebut dapat terpenuhi, maka diyakini nantinya Indonesia tak perlu lagi melakukan impor komoditas pangan.

Pemerintah menargetkan pencapaian produksi beras mencapai 70,6 juta ton untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras nasional. Namun, kata Sutarto, mengacu pada Angka Ramalan I-2011 dengan perkiraan pertumbuhan padi 1,35 persen, maka produksi gabah kering diproyeksikan hanya tercapai 66,4 juta ton.

“Kalau dari rencana program ada tambahan 3,725 juta ton, realisasinya dapat mendekati angka 70,6 juta ton gabah kering giling. Dijamin kita tidak perlu impor,” ujar Sutarto dalam kesempatan yang sama.

Sejumlah BUMN yang terlibat langsung dalam pelaksanaan program tersebut antara lain PT Pertani, dan PT Sang Hyang Seri yang bertugas menyediakan benih unggul, PT Pupuk Sriwidjaja untuk menyediakan pupuk, dan Perum Jasa Tirta I dan II untuk pengairan.

BUMN lain yang melaksanakan program penguatan ketahanan pangan adalah Perum Perhutani, PT Inhutani, dan PT Perkebunan Nusantara untuk penyediaan lahan, PT Berdikari untuk produksi jagung dan pakan ternak, dan Perum Bulog untuk pengelolaan hasil produksi.

Sumber: tempointeraktif.com

…….

Komentar :

Masyarakat janganlah terlalu berharap untuk mendapatkan dana tersebut secara langsung, karena sudah ada perusahaan yang ditunjuk untuk itu, yaitu:  PT Pertani dan PT Sang Hyang Seri yang bertugas menyediakan benih unggul, PT Pupuk Sriwidjaja untuk menyediakan pupuk, dan Perum Jasa Tirta I dan II untuk pengairan, Perum Perhutani, PT Inhutani, dan PT Perkebunan Nusantara untuk penyediaan lahan, PT Berdikari untuk produksi jagung dan pakan ternak, dan Perum Bulog untuk pengelolaan hasil produksi.

Jadi mari kita tunggu saja.

Potensi Lereng Merapi Untuk Pengembangan Pupuk Hijau

Oleh: Nasih Widya Yuwono
Makalah untuk Seminar Nasional HITI-UNS 2011 dengan tema “Upaya Pemulihan Lahan Akibat Erupsi Gunungapi” di kampus UNS Kentingan Surakarta, tanggal 26-27 April 2011.
unduh file : Pdf

Abstrak

Material vulkanik sebagai dampak erupsi Merapi tahun 2010 telah mengubur banyak lahan di lereng menjadi kosong tanpa vegetasi. Material tersebut bersifat lepas mudah terbawa air hujan berpotensi menjadi menjadi lahar dingin. Diperkirakan sampai tiga musim hujan mendatang lahar dingin tersebut tetap menjadi ancaman.

Upaya stabilisasi lereng perlu segera dilaksanakan untuk mengurangi ancaman lahar dingin tersebut. Penutupan lahan dengan revegetasi  berguna untuk menurunkan dampak energi pukulan curah hujan, meningkatkan infiltrasi dan daya simpan air tanah.  Revegetasi dengan tumbuhan terpilih yang mampu mengikat nitrogen bebas dari udara dapat juga dimanfaatkan sebagai sumber pupuk N. Selanjutnya pupuk hijau tersebut  dengan formulasi tertentu dapat digunakan sebagai sarana produksi untuk budidaya tanaman di lereng Merapi, atau dikemas dan dipasarkan sebagai pupuk organik padat dan pupuk organik cair.

Kata kunci: lereng Merapi, pupuk hijau, nitrogen.

Dampak erupsi dan lahar dingin

Material vulkanik sebagai dampak erupsi Merapi tahun 2010 telah mengubur banyak lahan di lereng menjadi kosong tanpa vegetasi. Material tersebut memiliki ukuran kasar sampai lembut, dengan ketebalan meter sampai hanya beberapa mm. Banyak pohon dan semak mati. Hunian dan lahan pertanian harus ditinggalkan karena berubah menjadi padang batu dan pasir. Sebagian yang lain hanya tertutup debu tipis, kemudian segera hijau kembali. Material yang bersifat lepas tersebut sangat mudah terbawa air hujan sehingga berpotensi menjadi lahar dingin. Diperkirakan sampai tiga musim hujan mendatang lahar dingin tersebut tetap menjadi ancaman.

Gunung Merapi merupakan salah satu gunung api yang paling aktif di dunia.  Setidaknya dari 61 laporan erupsi sejak pertengahan abad 15 sampai sekarang ini, ada 23 kali erupsi yang memuntahkan lahar di lerengnya. Deposit lahar tersebut menempati areal 286 km2 di sekeliling puncak Merapi. Munculnya lahar dingin dipicu oleh curah hujan jika memiliki intensitas > 40 mm dalam waktu 2 jam. Hal ini terjadi pada musim penghujan atau bulan November-April.  Lahar dingin yang terjadi pada ketinggian tempat 1.000 m dpl dapat meluncur dengan kecepatan 5-7 m/detik.  Lereng Merapi memiliki curah hujan yang tinggi, catatan tahun 1976-1990 menunjukkan rerata curah hujan tahunan di Plawangan (lereng selatan, 1.275 m dpl) sebesar 3.253 mm/th, sedangkan di Babadan (lereng barat, 1.278 m dpl) sebesar  2.416 mm/th (Lavigne et al., 2000).

Lahar adalah istilah umum untuk material volkanik yang mengalir cepat berupa campuran pecahan batu, pasir dan debu yang terbawa air. Ancaman lahar dingin yang muncul terus menerus di lereng Merapi itu disebabkan: adanya jutaan kubik deposit piroklastik di sekitar kubah yang secara berkala bertambah karena aliran lava (2-4 tahun sekali); curah hujan yang tinggi sering kali > 40 mm dalam waktu 2 jam (batas kritis terjadinya lahar dingin); serta pola drainase yang sangat rapat di lereng Merapi (Lavigne & Thouret, 2002).

Erupsi gunung Merapi merupakan daur geologi yang sudah berlangsung sejak jaman dahulu dan akan terus berlangsung di masa mendatang.  “Hit and run” merupakan strategi yang dapat diterapkan agar masyarakat tetap hidup selamat namun masih dapat memanfaatkan lahan tersebut dan mengambil berkah keuntungan yang diberikan oleh Merapi. Investasi dapat ditekan sekecil mungkin. Konservasi lereng atas Merapi sebagai daerah tangkapan air tanpa budidaya manusia, dapat menjadi keunggulan komparatif bagi kehidupan di kaki Merapi. Kalaupun ada bencana karena erupsi, masyarakat dapat dengan ringan segera meninggalkan lahan untuk sementara. Hijau daun dari aneka tumbuhan liar dapat dipetik secara terkendali dan diolah di tempat lain. Air bersih yang muncul kemudian dapat disalurkan untuk irigasi, minum ternak dan kebutuhan manusia.  Dengan adanya sumber air yang bebas dari bahan pencemar tersebut, wilayah sabuk Merapi sangat sesuai untuk dikembangkan dengan sistem pertanian organik.

Revegetasi lereng

Upaya stabilisasi lereng perlu segera dilaksanakan untuk mengurangi ancaman lahar dingin tersebut. Penutupan lahan dengan revegetasi berguna untuk menurunkan dampak energi pukulan curah hujan, meningkatkan infiltrasi dan daya simpan air tanah. Pohon dengan perakaran yang kuat dan dalam dapat menahan massa tanah yang bergerak.  Revegetasi dengan tumbuhan terpilih yang mampu mengikat nitrogen bebas dari udara dapat juga dimanfaatkan sebagai sumber pupuk N. Manfaat yang lain dari program  revegetasi adalah ikut mengatasi dampak negatif dari pemanasan global berupa  penyimpanan karbon dalam bentuk biomassa tumbuhan atau bahan organik tanah.

Tanaman pagar atau tanaman sela terbukti bermanfaat untuk konservasi tanah dan air, sebagai bahan pembenah kesuburan tanah, perbaikan produktivitas lahan, pembentukan teras hayati, serta memberi nilai tambah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di wilayah pegunungan di negara China (Hui et al., 2008). Tanaman pagar umumnya dipangkas secara berkala untuk mengurangi naungan terhadap tanaman pokok, hasil pangkasan tersebut digunakan sebagai mulsa, pakan ternak atau tujuan yang lain.  Beberapa pertimbangan dalam memilih tanaman pagar antara lain: mudah ditanam dan diperbanyak,  menghasilkan biomasa yang tinggi untuk meningkatkan daur hara dan status kesuburan tanah, memiliki manfaat ganda baik sebagai pakan, kayu bakar, pupuk hijau atau untuk kesehatan. Vegetasi yang ideal adalah tumbuhan kayu yang mampu menyemat nitrogen dari udara bebas, tumbuhan yang adaptif pada berbagai kondisi lingkungan, memiliki akar dalam yang kuat dan akar permukaan yang melebar, tahan terhadap pangkasan, serangan hama penyakit, kekeringan dan kondisi tanah yang tidak subur.

Legum dipilih karena kemampuannya menyemat N bebas dari udara. Pada wilayah perakaran terdapat konsorsium mikrobia yang bekerja tak kenal henti. Asam-asam organik hasil samping perombakan mampu melarutkan batuan, melepas basa yang kemudian diserap oleh tanaman. Akumulasi bahan organik di lapisan atas inilah yang mempercepat proses penyuburan kembali lahan yang ada.  Revegetasi dengan tumbuhan penutup lahan atau pupuk hijau memiliki keunggulan : 1) melindungi tanah dari erosi, kekeringan, serta memperbaiki lengas tanah dan sirkulasi air, 2). menekan pertumbuhan gulma, secara langsung dengan penutupan sinar matahari atau karena menghasilkan alelopati yang bersifat herbisida, 3). meningkatkan kandungan nitrogen tanah (legum), 4). menjadi habitat baru organisme musuh alami, 5). memperbaiki struktur tanah karena adanya aktivitas biota tanah dan gerakan akar, 6). meningkatkan kandungan bahan organik dan humus tanah, yang diikuti peningkatan aktivitas flora dan fauna dalam tanah, serta 7). menjaga kondisi tanah lebih lembab dan memperbaiki nisbah C/N bahan organik dalam tanah sehingga perombakan sisa seperti jerami atau kayu lebih mudah.

Bahan-bahan berupa daun atau ranting dari tumbuhan tersebut, secara langsung dapat digunakan sebagai pupuk hijau pada tanah sawah, digunakan sebagai mulsa pada lahan kering untuk budidaya hortikultura atau tanaman perkebunan. Biomasa tersebut dapat juga dengan formulasi tertentu diolah dan dikemas sebagai pupuk organik padat atau pupuk organik cair.

Pertanian organik  di lereng merapi

Shoji et al. (1993) menggambarkan tanah abu volkan (Andisols) sebagai  tanah yang sangat produktif, sehingga memberikan daya dukung bagi kehidupan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa wilayah di sekitar Gunung Merapi dengan jenis tanah abu volkan memiliki jumlah penduduk paling padat, sebagian besar mereka hidup dari usaha pertanian. Tanah yang terbentuk dengan bahan induk abu volkan memiliki kandungan yang cukup tinggi unsur Ca, Mg, Fe, dan P.  Karakter lahan abu volkan antara lain: 1). Bahan induk tersusun atas abu halus basalt atau andesite, 2). Jeluk tanah cukup dalam, tak ada pembatas perakaran, 3). Horison humus sangat tebal mengandung cukup banyak N organik, 4). Bahan induk memiliki apatit (Ca-P) yang relatif banyak, 5). Lengas tersedia melimpah. Tanah Andisols juga memiliki sifat fisik yang istimewa yaitu kapasitas memegang air yang tinggi, mudah diolah, sangat tahan terhadap erosi. Agregasi yang terbentuk dengan bagus berkaitan erat dengan kemampuan menyediakan air dalam jumlah yang besar bagi tanaman. Kerapatan tanah yang rendah dan konsistensi yang gembur, menjadikan tanah ini mudah diolah, sangat cocok untuk media perkecambahan biji dan perkembangan akar. Agegat yang mantap dan permeabilitas yang tinggi menjadikan tanah ini tahan terhadap erosi.

Lahan di sekitar Gunung Merapi layak untuk dikembangkan menjadi kawasan pertanian organik. Ketersediaan air irigasi yang jernih sebagai syarat utama untuk pertanian organik tersedia cukup melimpah di daerah ini. Pertanian organik di sabuk Merapi perlu dikembangkan sejalan dengan kearifan lokal yang ada dan sejarah yang cukup panjang di wilayah tersebut. Potensi pasar terbuka sangat lebar mengingat Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan dan budaya. Makanan bergizi, cukup dan sehat yang dihasilkan dengan sistem pertanian organik diperlukan untuk memelihara kesehatan dan produktivitas kerja.

Menurut Stockdale et al. (2001), pertanian organik memiliki karakter sebagai berikut:

  1. Adanya perlindungan kesuburan tanah dalam jangka panjang dengan cara menjaga kadar bahan organik tanah, melancarkan aktivitas biologi tanah, dan penggunaan peralatan mekanik secara hati-hati.
  2. Kecukupan nitrogen melalui fiksasi oleh legum atau proses biologi lainnya, melaksanakan daur ulang bahan organik secara efektif termasuk sisa tanaman dan ternak.
  3. Pengendalian terhadap gulma, penyakit dan hama dilakukan dengan rotasi tanaman, musuh alami, keragaman hayati, pupuk organik, varietas yang tahan, sedangkan masukan dari luar digunakan secara terbatas.
  4. Pengelolaan yang intensif terhadap ternak, dengan mengutamakan adaptasi secara evolutif, memperhatikan kesejahteraan ternak berkaitan dengan gizi, kesehatan, pemuliaan, pengandangan dan pemeliharaan.
  5. Sangat memperhatikan dampak dari sistem pertanian terhadap lingkungan yang lebih luas, menjaga konservasi satwa liar dan habitat alami.

Pengembangan pupuk hijau

Pupuk hijau dapat diartikan sebagai “bahan nabati yang dimasukan ke dalam tanah selagi masih hijau, untuk memperbaiki tanah”. Pemanfatan pupuk hijau dapat meningkatkan nilai ekonomi, serta menjaga mutu lingkungan (Cherr et al., 2006).  Awal mula kebiasaan menggunakan pupuk hijau dapat dilacak ke masa silam, bersamaan dengan munculnya budaya menetap di suatu tempat, saat itu mereka mulai bercocok tanam terus menerus di suatu tempat.  Petani di negara China 3.000 tahun yang lalu, mereka  menanam legum kemudian mengomposkan terlebih dahulu  atau membenamkan langsung di sawah mereka (Allison, 1973).  Sumber pupuk hijau sangat beragam dapat berupa vegetasi legum atau non legum yang diusahakan sebagai penutup lahan (cover crop), tanaman pra budidaya, tanaman lorong, tanaman pagar atau didapatkan hidup bebas di lahan kosong.  Pemanfaatan pupuk hijau dari pangkasan vegetasi legum mampu untuk menjaga atau meningkatkan kesuburan tanah tropika.

Laju mineralisasi pupuk hijau yang dibenamkan dalam tanah dipengaruhi oleh kandungan polifenol dan kadar nitrogen, pada percobaan dengan tanaman legum ditemukan korelasi negatif yang erat antara “kandungan polifenol”  atau “nisbah polifenol:N” dengan ”laju mineralisasi N” di tanah sawah (Oglesby & Faunes, 1992). Pada Tabel 1 disajikan nisbah bobot daun dan ranting, kandungan N,  polifenol dan lignin dari beberapa spesies yang sering digunakan sebagai pupuk hijau. Berdasarkan kandungan N total yang tinggi, namun polifenol rendah, maka Gliricidia sepium dan Cassia reticulata dapat dipilih untuk dijadikan pupuk hijau.

Tabel 1. Karakter pupuk hijau

Vegetasi Nisbah
daun/ranting
Polifenol (%) Lignin (%) N (%)
Calliandra calothyrsus

2,3

4,06

13,4

2,85

Cassia reticulata

9,4

1,99

9,9

2,65

Cassia siamea

3,9

3,92

10,3

2,31

Gliricidia sepium

6,4

1,84

8,6

3,43

Inga edulis

2,4

3,83

18,3

2,51

Leucaena leucocephala

2,4

2,93

11,1

3,74

Sesbania sesban

0,7

2,38

14,5

1,39

Tithonia diversifolia *

3,20

9,0

3,50

Senna spectabilis *

1,03

9,0

3,30

Sumber: Oglesby & Faunes (1992), *Ayuke et al. (2004)

Potensi biomassa untuk digunakan sebagai pupuk hijau dapat pula ditinjau dari kandungan N, P dan K. Hal ini sesuai kenyataan bahwa pupuk yang dibutuhkan petani dalam jumlah besar adalah ketiga hara makro utama tersebut. Bahkan seringkali hasil panen tidak maksimal karena petani terlambat atau kesulitan untuk mendapatkan ke tiga jenis pupuk tersebut. Tabel 2 menunjukkan perbandingan kandungan N, P K pada berbagai vegetasi. Mucuna sp.  dan Tithonia diversifolia terlihat memiliki kadar K yang lebih tinggi dibanding vegetasi lainnya.

Tabel. Kadar N, P, K beberapa vegetasi untuk pupuk hijau

Vegetasi

N (%)

P (%)

K (%)

Calliandra calothyrsus

3,4

0,15

1,1

Crotalaria grahamiana

3,2

0,13

1,3

Crotalaria juncea **

2,3

0,50

1,8

Lantana camara

2,8

0,25

2,1

Leucaena leucochepala

3,8

0,20

1,9

Mucuna sp*

3,7

0,53

5,7

Pongamia glabra **

3,3

0,44

2,4

Sesbania sesban

3,7

0,23

1,7

Sesbania aculeata **

3,5

0,60

1,2

Sesbania speciosa **

2,7

0,53

2,2

Tephrosia vogelii

3,0

0,19

1,0

Tithonia diversifolia

3,5

0,37

4,1

Sumber : Jama et al. (2000), *Gitari et al. (2000) **Sankaranarayanan (-)

Pupuk organik dapat dibuat dari sisa makhluk hidup, tumbuhan atau hewan. Lazimnya dilakukan pengomposan atau fermentasi terhadap campuran bahan organik yang memiliki nisbah C/N sekitar 30. Tanaman yang tergolong pupuk hijau jika memiliki nisbah C/N < 20 dapat langsung dibuat menjadi pupuk organik. Material tersebut dikeringkan, dihaluskan kemudian dibentuk  menjadi  butiran, pellet, tablet atau dijual curah/remah.  Untuk membuat pupuk organik cair dapat dilakukan proses penyeduhan, perendaman atau ekstraksi. Sisa padatan digabungkan dengan pupuk organik padat dan digunakan sebagai pembenah tanah. Pupuk organik cair tersebut dapat diperkaya dengan penambahan zat pengatur tumbuh atau juga pestisida hayati.

Peluang dan hambatan

Produk pupuk hijau atau pupuk organik termasuk sumberdaya yang terbarukan, dapat dipakai untuk menunjang sistem pertanian organik di sabuk Merapi. Komoditas tanaman pangan, sayuran atau herbal organik dapat menjadi keunggulan dan daya tarik tersendiri sebagai bagian dari wisata Merapi. Lahan yang tersedia cukup luas khususnya di Kawasan Rawan Bencana yang tersebar di wilayah Kabupaten Sleman, Klaten, Boyolali atau Magelang. Hambatan utama terutama suhu dingin serta tutupan awan akan menghambat pertumbuhan vegetasi. Perlu dikembangkan tanaman dengan daya adaptasi di lingkungan tersebut namun mampu menghasilkan biomasa yang besar, atau penghasil aromatik yang berkualitas. Perlu dilakukan studi lebih detil terhadap vegetasi yang tumbuh liar seperti: Chromolaena odorata, Urtica dioica, Amaranthus sp. untuk digunakan sebagai pupuk hijau.

Semoga ada yang menangkap peluang ini menjadi usaha yang menguntungkan.

Daftar Pustaka

  • Allison, FE. 1973. Soil Organic Matter and its Role in Crop Production. Developments in Soil Science. Volume 3. Elsevier. Amsterdam.
  • Ayuke, FO.,  Rao, M.R, Swift, M.J.  & Opondo-Mbai, M.L. 2004. Assessment of  Biomass Transfer from Green Manure to Soil Macrofauna in Agroecosystem-Soil Macrofauna Biomass. In Bationo (Ed.). Managing Nutrient Cycles to Sustain Soil Fertility in Sub-Saharan Africa. Academy Science Pub. Nairobi.  pp: 411-422.
  • Cherr, CM.,  J M S. Scholberg, & R. McSorley. 2006. Green Manure Approaches To Crop Production: a Synthesis. Agron. J. 98:302–319.
  • Gitari,  JN., JG. Mureithi, SK. Karumba &  K. Mwaniki. 2000. Integrated Use of Legume Green Manure, Cattle Manure and Inorganic Fertiliser for Increased Maize Production in Mid Altitude Areas of Central Kenya. In Proceedings of the 2nd Scientific Conference of the Soil Management and Legume Research Network Projects. Mombasa, Kenya.
  • Hui Sun, Ya Tang & Jiasui Xie. 2008. Contour Hedgerow Intercropping in The Mountains of China: A Review. Agroforest Syst. 73:65–76.
  • Jama, B., CA.  Palm, R J. Buresh, A. Niang,C. Gachengo, G. Nziguheba  &  B. Amadalo. 2000. Tithonia Diversifolia As A Green Manure For Soil Fertility Improvement in Western Kenya: A Review. Agroforestry Systems 49: 201–221.
  • Lavigne, F & Jean-Claude Thouret. 2002. Sediment Transportation and Deposition by Rain-Triggered Lahars at Merapi Volcano, Central Java, Indonesia. Geomorphology 49 : 45–69.
  • Lavigne, L, J.C. Thouret, B. Voight, H. Suwad, & A. Sumaryono. 2000.  Lahars at Merapi Volcano, Central Java: an Overview.  Journal Of Volcanology and Geothermal Research 100 : 423–456.
  • Oglesby, KA. & JH. Fownes. 1992. Effects of Chemical Composition on Nitrogen Mineralization from Green Manures of Seven Tropical Leguminous Trees. Plant and Soil 143: 127-132.
  • Sankaranarayana, K. Nutrient Potential of Organic Sources for Soilfertility Management in Organic Cotton Production. CICR. http://www.cicr.org.in/research_notes/nutrient_organic_cotton.pdf, diakses 25 April 2011.
  • Shoji,S.,  M. Nanzyo, & R. Dahlgren. 1993. Productivity and Utilization of Volcanic Ash Soils. Developments in Soil Science. Volume 21 : 209-251.
  • Stockdale, EA.,  NH. Lampkin, M. Hovi, R. Keatinge, EKM. Lennartsson, DW. MacDonald, S. Padel, FH. Tattersall, MS. Wolfe & CA. Watson . 2001. Agronomic and Environmental Implications of Organic Farming Systems.  In Advances In Agronomy, Volume 70 : 261-262.